JAKARTA - Sejak tahun 2019, Pemerintah Republik Indonesia menerima 14 permintaan klarifikasi dari Special Procedures Mandates Holders (SPMH) terkait isu-isu di Papua. SPMH sendiri merupakan sekelompok pakar independen yang ditunjuk Dewan HAM PBB untuk memberikan laporan dan masukan kepada Dewan HAM PBB terkait implementasi HAM maupun kondisi HAM yang bersifat darurat di suatu negara.
Pada 22 Desember 2021, sejumlah SPMH PBB mengirimkan surat komunikasi bersama (Joint Communication) kepada Pemerintah RI berisi permintaan klarifikasi terhadap dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, eksekusi ekstra-yudisial, penyiksaan dan pemindahan paksa di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Melihat hal tersebut, Anggota Komisi I DPR RI Syarif Hasan menilai bahwa tujuan dari apa yang telah dilakukan SPMH tersebut merupakan salah satu strategi bagi segelintir orang. "Jadi sebenarnya tujuannya SPMH ini adalah salah satu strategi bagi segelintir orang yang mendesain bagaimana agar permasalahan yang sebenarnya kecil tetapi kalau berulang-ulang dilakukan di tingkat nasional akan terjadi pembenaran sehingga masyarakat dunia akan mengatakan oh inilah yang terjadi di Indonesia, " kata Syarif dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (6/4/2022).
Untuk itu, Syarif menekankan, hal tersebut perlu disikapi dengan baik. "Kita jangan melihat dari sisi pelanggaran HAM-nya saja, tetapi dasar strategi mereka melakukan mengapa ini yang paling penting, karena kita juga bisa menulis apa-apa yang mereka lakukan. Terakhir, korban dari TNI itu luar biasa anak-anak kecil yang menjadi korban, " imbuh politisi Partai Demokrat itu.
Selain Syarif, Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon mengatakan bahwa diplomasi Indonesia soal Papua terlihat seperti diplomasi yang defensif. Padahal, menurut politisi Partai Gerindra itu, jumlah korban dari aparat TNI, Polri hingga masyarakat sipil Indonesia justru lebih banyak.
"Bagaimana menjadikan ini ofensif diplomasi, bahkan kalau kita lihat jumlah korban lebih banyak di kita, jumlah korban aparat TNI dan Polri saja lebih dari 40, belum lagi masyarakat sipil biasa, ada warga beberapa tahun lalu warga Minang juga banyak yang menjadi korban, ada sembilan yang dibantai, " sebutnya. Untuk itu, Fadli menilai posisi diplomasi Indonesia menghadapi hal ini perlu dipertegas.
Sehingga diplomat-diplomat Indonesia juga memiliki pedoman yang jelas bagaimana menghadapi hal tersebut. "Kitalah yang sebenarnya banyak menjadi korban tapi kelihatannya kita ragu-ragu. Status ini seperti apa? Menyebut mereka ini kelompok separatis teroris saja kita nggak berani, menyebutnya masih KKB gitu. Jadi sebenernya statusnya ini apa, agar diplomat kita yang di luar negeri jelas meletakkan definisi terhadap mereka yang melakukan separatisme itu, " terangnya.
Sebelumnya, Duta Besar/Wakil Tetap RI di Jenewa Febrian Alphyanto Ruddyard mengatakan bahwa Joint Communication SPMH ini bukan merupakan pandangan PBB atau bukan merupakan temuan PBB serta agenda PBB. Anggota SPMH pun bukan merupakan staf PBB dan tidak menerima gaji dari budget reguler PBB.
Baca juga:
Amsakar Tampung Masukan DPRD Batam
|
"Joint communication SPMH ini bukan merupakan pandangan PBB atau bukan merupakan temuan PBB serta agenda PBB. Namun merupakan salah satu fungsi komunikasi Dewan HAM yang diberikan mandatnya kepada SPMH untuk meminta klarifikasi kepada negara terkait, " kata Febrian.