Jakarta– “Bodoh sekali kita kalau enggak melakukan ini. Malah beli barang-barang impor, mau kita terus-teruskan, ndak. Ndak bisa".
Ungkapan itu muncul dari Presiden Joko Widodo saat memberi arahan dalam acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia ditayangkan Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (25/3/2022).
Presiden mengungapkan rasa jengkel, sedih dan heran lantaran para gubernur, bupati, dan wali kota, membiarkan ada anggaran besar (APBN dan APBD) untuk pengadaan barang dan jasa impor.
Mulai dari peralatan elektronik rumah tangga, sepatu, juga garmen, mainan anak-anak hingga alat tulis perkantoran. Hingga alat mesin pertanian (alsintan) juga masih diimpor.
“Seandainya saja, pengadaan barang dan jasa pemerintahan secara konsisten membeli produk buatan industri dan UKM dalam negeri, akan memacu pertumbuhan ekonomi, ” kata Presiden.
Sebagai gambaran, dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Tahun 2019 di Jakarta Convention Center, Rabu (6/11/2019), Presiden pernah menyinggung impor cangkul. "Urusan pacul, cangkul, masak kita impor. Apakah tidak bisa didesain industri UMKM kita, buat pacul tahun depan saya beli ini puluhan ribu. Cangkul, pacul dibutuhkan masih impor. Apakah negara kita sebesar ini industrinya berkembang, benar pacul harus impor?" tanya Presiden.
Ungkapan itu didukung data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pada Januari-Agustus 2019 impor cangkul/garpu cangkul mencapai US$93.155, dengan volume 210.575 Kg.
Sejarah Kampanye Cinta Produk DN
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai mengenal produk luar negeri sejak usia dini. Mengutip buku Jakarta 1950-1970 (2018) yang ditulis Firman Lubis, menyebutkan bahwa pada era 1950-an, barang-barang impor sudah datang, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan perkantoran. Saat itu lemari es pun sudah ada di Jakarta. Mesin pendingin itu produksi General Elecric merek Frigidaire asal dari Amerika Serikat.
Barang elektronik lain, juga ada. Radio berbentuk kotak berukuran besar, yang menggunakan tenaga listrik, diimpor dari Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat. Baru di akhir 1950-an, radio transistor—bertenaga baterai— berhasil diproduksi di dalam negeri. Produsennya Nasional Gobel. Pabriknya ada di Jalan Saharjo, Tebet, yang sekarang menjadi Hotel Harris.
Selain barang elektronik, publik Jakarta juga ditawari produk otomotif buatan Amerika Serikat dan Inggris. Ada merek Ford, Chevrolet, Dodge, Chrysler, Studebaker, Oldsmobile, dan Buick, buatan Amerika. Sementara buatan Inggris, antara lain merek Austin, Morris, dan Land Rover. Ada pula buatan Italia merek Fiat, serta Jerman merek Volkswagen dan Opel.
Belakangan, produk impor di tanah air, kian tidak terbendung. Banjir produk impor itu, menjadi perhatian tersendiri para pemimpin negeri ini. Kampanye untuk mencintai, membeli dan menggunakan produk dalam negeri pun digalakkan. Presiden Joko Widodo, tentu bukan orang pertama yang mengkampanyekan ‘beli produk dalam negeri” di tanah air. Pendahulunya, mulai dari Presiden Soekarno, Presiden HM Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga telah gencar mengkampanyekan hal itu.
Gelora cinta produk dalam negeri di era pemerintahan Presiden Sukarno, didengungkan lewat konsep berdikari—berdiri di atas kaki sendiri. Dalam sebuah perjalanan ke daerah-daerah di Indonesia, Bung Karno pun mengingatkan tentang berdikari. Menurut Soekarno, di Asia—meski tak menyebutkan negara apa—ada negara yang makmur. Namun, sebenarnya negara itu tak berdiri di atas kekuatan dan kekuasaan sendiri.
“Negara itu bisa mentereng karena hidup dari pertolongan atau bantuan uang yang ditumpahkan negara lain kepadanya. Negara seperti itu pada suatu saat akan hancur lebur ketika tidak menerima bantuan lagi, ” kata Sukarno, seperti ditulis ajudannya Mangil Matowidjojo di buku Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999).
Kampanye cinta produk Indonesia, itu diteruskan oleh HM Soeharto. Mengutip buku Presiden ke II RI Jenderal Besar H.M. Soeharto dalam Berita, terbit 2008, penguasa Orde Baru itu melihat pentingnya menghidupkan industri nasional, agar dapat menyerap lapangan pekerjaan. “Jika kita tinggalkan barang buatan sendiri, industri tutup kemudian timbul pengangguran, akhirnya yang ada adalah kemelaratan. Ini bukan cita-cita kita, ” katanya.
Presiden Soeharto menyampaikan hal itu dalam sebuah pertemuan bersama 150 peserta Musyawarah Nasional Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRRSNI), di Tapos, Bogor, 10 Desember 1995. Presiden RI ke-2 itu mengingatkan pentingnya mencintai produksi nasional itu. Sebagai langkah konkrit, Presiden Soeharto pun mengangkat Ginandjar Kartasasmita sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (1983-1988), untuk menghadapi serbuan produk impor karena memasuki era perdagangan bebas.
Kelak di kemudian hari, munculah sejumlah regulasi yang berkaitan dengan pengoptimalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terhadap proyek strategis yang didanai oleh negara dan pada produksi manufaktur di Indonesia. Ide besarnya, sebagaimana diungkap Presiden Soeharto, adalah untuk menjadikan Indonesia mandiri.
Mendukung kampanye “Cinta Buatan Indonesia” itu, grup musik legendaris Bimbo pun menciptakan lagu berjudul; “Aku Cinta Buatan Indonesia”. Lagu ini gencar ditayangkan setiap hari, di satu-satunya televisi pada saat itu, TVRI. Judul lagunya Aku Cinta Buatan Indonesia. Lagu ini juga selalu diputar di bioskop sebelum filmnya dimulai.
Berhasil? Pascareformasi 1998, pasar Indonesia justru semakin dibanjiri barang impor, khususnya produk China. Konsumen Indonesia yang oleh sejumlah riset konsumen diidentifikasi sangat peduli harga, pun memilih membeli produk impor. Alasannya, selain harga lebih murah, juga kualitasnya setara dengan produk lokal. Bahkan, konsumen pun tidak sungkan membeli produk asal murah, sekalipun kualitas kurang.
Krisis Keuangan Global 2008, mendorong banyak negara melakukan kebijakan yang dipandang sebagai sikap proteksionis. Itu, misalnya ditunjukkan Amerika Serikat yang menggalang kampanye “Buy American”.
Hal yang sama juga muncul di tanah air. Bertepatan dengan pameran kerajinan Inacraft di Jakarta Convention Center, April 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mulai melakukan kampanye “Aku Cinta Indonesia”. “Kalau kita mengatakan aku cinta produk Indonesia itu baru nilainya 100, ” kata SBY. Saat itu produk-produk ditempeli stiker atau tulisan, “100 persen Cinta Indonesia”. Kata “cinta” disampaikan dalam simbol “love”. Departemen Perdagangan menjadi “lead” dalam kampanye ini.
Kampanye Cinta Indonesia semakin marak lewat sosok Alim Markus. Pendiri dan pemilik Grup Maspion (pabrik barang-barang mulai panci sampai elektronika dari Jawa Timur ) ini secara masif muncul di berbagai saluran televisi. Bersama penyanyi legendaris Titiek Puspa, Alim mengkampanyekan “cintailah produk-produk Indonesia”.
Gernas BBI
Kini di 2020-2021, krisis karena pandemi, melanda dunia. Di saat itu pula mendorong para pemimpin menengok ke dalam negeri. Tidak terkecuali, Indonesia. Lewat Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2021, Pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI). Tim gerakan itu dipimpin Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Disebutkan pula bahwa Tim Gernas BBI dibentuk untuk mendorong penguatan pertumbuhan ekonomi nasional melalui penguatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), termasuk Industri Kecil dan Menengah. Sebelumnya, pada 14 Mei 2020, telah diluncurkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.
Selain Menko Luhut, ada tiga wakil ketua tim, yaitu Menko Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Bertindak sebagai ketua harian adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Baparekraf, wakil ketua harian Menteri Koperasi dan UMKM, dengan sekretaris Deputi Bidang Koordinasinasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenko Marves. Semua kementerian menjadi anggota.
Keppres mengatur tugas-tugas untuk Tim Gernas BBI, sebagai berikut:
Melaksanakan kegiatan pencapaian target Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Gernas BBI meliputi:
peningkatan jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah/Industri Kecil dan Menengah termasuk Pelaku Ekonomi Kreatif yang masuk dalam ekosistem digital;
Peningkatan jumlah penjualan atau transaksi pembelian produk lokal;
Peningkatan daya beli masyarakat, perluasan pasar, akses permodalan, pelatihan, pendataan, dan percepatan siklus ekonomi lokal melalui belanja
produk lokal; dan
Stimulus ekonomi untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah/Industri Kecil dan Menengah termasuk Pelaku Ekonomi Kreatif Gernas BBI sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
Menyelaraskan program Gernas BBI dengan kampanye publik Gernas BBI;
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pencapaian target Gernas BBI; dan
Pelaporan data perkembangan Gernas BBI.
Mencermati isi Kepres, terlihat jelas Gerakan kali ini berfokus pada UMKM dan ekonomi digital. Hal itu terkait dengan jumlah UMKM (sesuai data BPS) yang mencapai 64 juta, atau 99, 9 persen dari semua usaha yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah itu, baru 13 persen atau 8 juta yang sudah bergabung dalam platform digital.
Sektor UMKM terpukul hebat gara-gara pandemi yang ditandai dengan pembatasan mobilitas. Pemerintah mengucurkan bantuan lewat Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Banyak kisah, mereka yang berhasil dalam transformasi digital, bisa bertahan bahkan berkembang selama pandemik ini. Keterlibatan lembaga perbankan penting, termasuk dalam kurasi.
Kali ini, pemantauan keberhasilan program antaralain bisa dilakukan lewat sejumlah platform e-commerce yang populer. Versi Kemenkop dan UMKM, pada Agustus 2021 sudah ada 15, 3 juta UMKM masuk ekosistem digital. Target program digitalisasi UMKM pada 2024 adalah 30 juta.
Akankah kampanye cinta produk dalam negeri kali ini akan berhasil? Smoga! Waktu juga yang akan menjadi saksi.(*)
Ilustrasi, Gerakan Nasional BBI